Ini Tanahku…, tanah dalam botol

Ini tanahku, Indonesia, tanah dalam sebuah botol besar, tidak banyak memang, namun untuk saat ini, inilah tanahku,… Indonesia, tanah dalam botol.

Sebuah pertanyaan singkat tentang hal yang sederhana, membawaku ke dalam suatu ruang ilmu yang lebih luas. Pertanyaan yang sederhana tidak bisa dijawab dengan jawaban yang sederhana pula. Kalau yang dibutuhkan hanya jawaban, tentu kita tidak akan pernah mengerti prosesnya, dalam ilmu Matematika pun, 1+1 = 2, pertanyaan dengan jawaban yang singkat dan jelas, tapi apakah kita mengerti bagaimana proses datangnya angka 2, apakah kita akan menjawab 2, kalau tidak tahu aturan dalam penjumlahan. Seperti itulah, pertanyaan yang sederhana akan membawa kita ke dalam ruang ilmu yang lebih luas.

Mari kita ulang sebuah kronologi dari beberapa jam sebelumnya. Sebuah jalan menuju Pantai, aku berpapasan dengan si Buyung, Ia adalah anak kampung sebelah tapi kami sering bermain di pantai bersama dengan kawan-kawan lainnya. Si Buyung terlihat membawa sebuah botol besar.

“Apa yang kamu bawa itu Konco?” dari kejauhan aku menegur si Buyung. “Konco” merupakan kata sapaan untuk kawan akrab di tanah Minang.

“Tidak nampak dek Konco, Botol ini…” Buyung menjawab sambil menunjuk Botol yang dibawanya.

“Belum rabun saya lagi nco, maksudnyo untuk apa botol gadang ini konco bawa-bawa?” kembali aku bertanya.

“o mantun, ambo mau mengambil tanah untuk dimasukkan ke botol ini” Buyung berhenti sebentar dan menjawab pertanyaanku.

“Sudah menuntut ilmu-ilmu magis pula konco ya, syirik itu hukumnyo mah nco, indak buliah samo agamo”

“menuntut ilmu apa pula kata konco ini, ambo cuma mau mengambil tanah untuk disimpan dalam botol, tidak ada hubungannya dengan menuntut-nuntut ilmu itu” Buyung kembali menimpali.

“ada-ada saja kerja konco”

“ada-ada saja bagaimana?, eh tahu konco ndak, kenapa ambo mau menyimpan tanah dalam botol iko, itu karano tanah nan kito pijak kini nco, akan hilang, ndak ado tanah di dunia ko lai” Buyung mulai bercerita tentang alasannya membawa botol.

“hilang bagaimana pula maksud konco, kalau tanah ilang, tantu bumi ikut hilang juga nco” aku mulai mempertanyakan alasan si Buyung.

“begini konco, kita carilah tempat duduk dahulu, baru siap itu menghota lamak kita” Buyung sepertinya ingin menjelaskan lebih lanjut mengenai pendapatnya tentang botol dan tanah ini.

Mereka pun melihat sekeliling dan mencari tempat yang enak untuk mengobrol, tidak jauh dari tempat mereka berdiri terdapat sebuah “Palanta”. Tanpa banyak kata, mereka berjalan menuju palanta itu dan mulailah si Buyung bercerita.

“sebenarnya begini konco, alasan ambo ingin menyimpan tanah ini dalam botol adalah ambo takuik kalau tanah nan kito pijak ko akan tengelam” mulailah si buyung bercerita.

“tabanam baa konco?, kalau ado tsunami, kini alah ado peringatannyo mah, di Dunia yang sudah modern ini, semua sudah bisa diantisipasi” aku merasa si buyung sudah mulai berbicara ngawur.

“tunggu sebentar konco, jangan konco begitu cepat mengambil kesimpulan, ambo susunlah kronologis caritonyo. Sebentar tadi ambo baru siap menonton film Waterworld (Kevin Costner, 1995)” Buyung mulai bercerita.waterwolrd

“gara-gara film mah kironyo, alah mancubo-cubo menjadi artis pulo konco?…huahahaha”

“jangan tertawa dulu konco, dengarlah dulu cerita ambo” buyung ternyata kurang suka dengan tanggapan yang kuberikan.

“di film Waterworld itu diceritakan bahwa seluruh dunia sudah terbenam oleh lautan. Tidak ada lagi daratan untuk tempat berpijak, bahkan tanah pun sangat mahal harganya, tanah dijual dalam botol-botol. Nah, ambo pun berpikir bahwa itu mungkin saja terjadi di masa yang akan datang. Konco lai tahu global warming, pemanasan yang terjadi pada bumi secara global, mencairnya es di kutub utara dan selatan yang mengakibatkan naiknya permukaan laut” buyung melanjutkan ceritanya.

“taruih bagaimana kelanjutannya konco?” aku mulai penasaran.

“ film nan ambo tonton tadi tu ado hubungannyo jo alam Minangkabau, dan alah ambo baco pulo referensi lainnyo. Konco lai ado belajar BAM (Budaya Alam Minangkabau), di dalam Tambo disebutkan bahwa dahulu kala nenek moyang kito menemukan tanah minang, dan hal itu disampaikan dalam kata kiasan;

dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, nan sagadang talua itiak, sadang dilamun-lamun ombak (karena sudah lama berlayar, nampaklah pulau kecil yang sebesar telur itik, yang sedang dihempas ombak, timbul dan tenggalam).

Atau dibuat pula lagu yang dinyanyikan oleh Yan Juned dan Fetty:

sajak gunuang marapi sagadang talua itiak, (sejak gunung Merapi sebesar telur itik).

Kato kiasan gunung Marapi sebesar telur itik ini, memang pernah terjadi dahulu kala. Tentu ukurannya tidak sebesar telu itik, tapi kecil dibandingkan dengan sekarang. Waktu itu, nenek moyang urang Minangkabau yang sampai ke Gunung Marapi, mereka berdo’a kepada Tuhan agar disurutkanlah air laut, agar nenek moyang kita bisa hidup dan menetap, maka jadilah Minangkabau seperti yang kita lihat sekarang.

Kalau itu kan kato Tambo, tapi kalau kato ilmu geologi seirama, namun dengan penjelasan yang berbeda. Pada era Cenozoic, lebih tepatnya pada periode Quaternary (sekitar 2 juta tahun yang lalu sampai sekarang), dimana semenanjung Malaya masih menyatu dengan pulau Sumatra, Pulau Jawa dan Borneo yang disebut dengan “Paparan Sunda”. Itu terjadi sekitar 2 juta tahun yan lalu, keadaan ini sangat berbeda dengan yang kita lihat pada saat ini, pada waktu itu permukaan air laut berada sekitar 120 meter di bawah permukaan air laut yang sekarang. Pada waktu yang sama juga merupakan zaman es, dimana sebagian besar permukaan bumi ditutupi oleh es, seiring waktu dengan pemanasan global yang terjadi pada bumi, menyebabkan es meleleh dan Paparan Sunda tadi tergenang oleh air, sehingga seperti yang kita lihat pada saat ini. Hal ini tidak terjadi begitu saja, namun dalam proses yang lama dan juga terjadi berulang-ulang, dimana Paparan Sunda timbul dan tenggelam. Jika kita hubungkan cerita yang ada di dalam Tambo dengan ilmu Geologi ini, maka kemungkinan saja, waktu nenek moyang orang Minangkabau sampai di Tanah Minang pada fase dimana air laut lagi naik karena pemanasan global ini. karena naik dan turunnya air laut itu terjadi berulang-ulang dimana Paparan Sunda Timbul dan tenggelam.

…bantuak itu caritonyo konco” buyung berhenti sejenak bercerita.

Ini tanahku - Rijal (1)Gambar 1. grafik perubahan permukaan air laut selama 6.000 tahun terakhir (Whitten et al, 1997).

Ini tanahku - Rijal (3)Gambar 2. Perubahan geologi pada Paparan Sunda selama 1 juta tahun terakhir (Whitten et al, 1997).

“jadi Tambo yang merupakan carito legenda tu masih ado hubungannyo samo sains yo mah nco. Nah, sesudah itu, apo hubungannyo carito konco tadi samo botol yang konco bawa?” aku mulai sedikit mengerti dengan cerita si Buyung.

“Konco kan tahu, di zaman kini, alah banyak urang nan membakar hutan, polusi, banyak mobil dan motor dengan gas beracunnya, pabrik-pabrik, semuanya berhubungan dengan efek gas rumah kaca. Apo konco lai tahu samo efek rumah kaca tu?”

“hmmmm…rumah yang setiap jendelanyo pakai kaca dan mementulkan sinar matahari, bantuak itu kan nco?” aku tidak yakin dengan jawabanku.

“indak bantuak itu do nco, ndak rumah dalam arti yang sebenarnyo, tapi iko istilah yang artinya penumpukan gas karbondioksida di dalam atmosfer bumi, yang akan memantulkan sinar matahari kembali lagi ke bumi, sehingga bumi akan menjadi semakin panas. Bantuak itu konco” Buyung menjelaskan.

“hehehe…ambo jarang membaca buku mah konco, bisuak-bisuak ambo rajin lai”

“Kito lanjutkan cerita kito tadi, dengan adanya efek rumah kaca ini, dan manusia yang tidak peduli dengan lingkungannya, ambo takuik kalau es yang ado di kutub-kutub itu akan meleleh dan menenggelamkan tanah kito, kampuang halaman kito. Jadi, ambo berinisiatif, kalau hal itu terjadi ambo alah ado simpanan tanah dalam botol yang nanti haragonyo akan menjadi sangat tinggi, kayo rayolah ambo…hehehehe” buyung bercerita sambil tertawa.

“hah, iya benar seperti itu konco, ambo cari botol dahulu, sama-samalah kita menyimpan tanah ini, biar nanti kita sama-sama menjadi kayo rayo” aku bergegas pulang ke rumah untuk mengambil botol yang paling besar untuk menyimpan tanahku.

Ini tanahku - Rijal (5)Gambar 3. Kebakaran hutan di Riau (Corlet, 2009).

Ini tanahku - Rijal (6)Gambar 4. Ilegall logging di hutan tropi asia (Corlet, 2009).

Sepenggal dialog antara Si Aku dan Si Buyung tadi mengingatkan kita untuk selalu menjaga lingkungan. Jangan tunggu tanah kita hanya dalam botol saja, karena tidak ada lagi tanah untuk berpijak. Banyak kejadian akhir-akhir ini tentang lingkungan, siapakah yang disalahkan? Apakah kita akan terus mencari kambing hitam atau mengkambing-hitamkan pihak lain, tanpa menyelesaikan permasalahan yang ada. seharusnya kita mulai dari diri kita sendiri dan lingkungan kita sendiri, mari kita mulai menghemat energy, mari kita mulai membuang sampah pada tempatnya, mari kita mulai peduli dengan lingkungan kita, karena ini bumi kita, ini tanah kita.

dan jangan sampai kita pada suatu hari nanti membeli tanah dalam botol, karena tidak ada lagi tanah tempat kita berpijak.

Referensi:

Corlet, T. R. 2009. The ecology of tropical East Asia. Oxford University Pres, New York.

Whitten, T., Damanik, J. S., Anwar, J. dan Hisyam, N. 1997. The ecology of Sumatra. Periplus. Singapore.

2 responses to “Ini Tanahku…, tanah dalam botol

  1. Batua yang maa tu Anggita? theory tentang pembentukan pulau Sumatra, iya, itu dibuktikan dengan hampir samanya jenis flora dan fauna yang ditemukan di Pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan, tentu penyebarannya waktu semua pulau masih menyatu…
    trus kalau untuk yang akan datang, itu terdapat di tangan kita untuk menentukannya, walaupun proses itu membutuhkan waktu yang lama, tetapi mungkin saja suatu waktu nanti akan terjadi seperti, jika kita tidak mulai dari sekarang untuk menyelamatkan bumi, terutama Indonesia..hehehe…(maaf kepanjangan)

Leave a comment